Naskah monolog
gedebug
sebuah karya dari
Bina Margantara
bina_margantara@yahoo.com
DI PANGGUNG NAMPAK SEORANG YANG SEDANG
DIPASUNG MENYERUPAI SALIB (SALIB TERSEBUT BERADA DI DALAM SEBUAH LINGKARAN)
DENGAN HANYA KEPALA YANG DISOROTI LAMPU. TATAPAN TAJAM, MENGAMATI SEKELILING.
BACKROUND SEBUAH JAM DINDING BESAR
MENUNJUKKAN JAM 12 TEPAT
TIBA-TIBA MENGERANG…
SAMBIL
BERUSAHA MELEPASKAN PASUNGAN TERSEBUT, MAKA LEPASLAH IA.
KEMUDIAN MEREGANGKAN OTOT-OTOTNYA, DAN MENCARI-CARI
SESUATU, TERNYATA YANG DICARI ADALAH AIR
Eeeuuk..eeuuk.. (DIA PUN BERSENDAWA)
Air yang sejuk bagi jiwa-jiwa yang
bebas, hahaha..taiklah..apa dengan mengikatku bisa memasungkan pikiran juga
hah? Bodoh!! Di sini tempat yang sungguh tidak terlalu asyik, asing, banyak
orang-orang aneh, omongannya juga ngawur,
ngelantur. Sudah berlumut juga dinding di sini oleh obrolan mereka.
Oh ya, di sini juga serba putih-putih.
Baju putih, celana putih, dinding putih (SAMBIL MENUNJUK), sampai bapak kepala
sini rambutnya juga sudah putih, seperti kucing yang sering ia bawa. Kadang aku pun bingung, mana yang
kepala mana yang kucing. Hahahaha…
Baiklah, sekarang sudah jam 12 tepat.
Waktunya istirahat alias jam makan kata orang kantoran. Setuju? Tapi istilah
itu mencokol terus dalam benakku, waktu istirahat atau istirahat waktu? Waktu
makan atawa makan waktu? Yang terakhir ini memang aneh, kalau makan waktu,
terus menuangkan waktunya kapan? Ahh, sungguh edan!! Kantoran edan.
Aku sesungguhnya betah di sini,
itu..itu..
(MENUNJUK KE MENAKIN YANG DIDANDAN,
SAMBIL MEYAKINKAN PADA PENONTON)
Itulah alasan mengapa aku betah disini.
Wanita-wanita cantik dengan kopiah putih. Alamak, sedap nian. Terus melirik dan
main mata dengaku, walau dari jauh. Tapi, dia selalu kosong, mengiba-iba ingin
dibebaskan. Dan juga sudah aku bilang, lebih baik seperti aku saja. Bebas, mau
jingkrak-jingkarak, guling-guling, merangkak, telungkup, ngangkang,enakmu dewe! Tak ada yang larang, tapi dia tak mau. Ya
sudahlah.
Jam 12, berarti..
(MELIHAT JAM LALU BERPIKIR)
Menemukan jawaban dari ribuan pertanyaan
yang cuma kuambil satu saja, cukuplah. Pertanyaannya seperti ini? Bagaimana
tiba-tiba, para ibu melahirkan bayi-bayi yang sudah gila? Dalam arti kata, bayi
yang gila sejak lahir. Aku percaya sih,
mereka akan membawa perubahan. Aku yakin. Atau…bayi-bayi normal, tapi yang
melahirkan adalah para ibu gila, ataunya lagi, bayi normal, ibu-ibu normal,
yang punya sperma orang-orang gila…hahahaha!
Pasti ini adalah temuan yang mutakhir,
yang hanya aku saja yang punya ide.
Pertanyaan ini dulu muncul dari
observasi tak tersengaja. Ceritanya seperti ini : entah kenapa pada suatu malam
yang cerah, aku tak bisa tidur. Aku coba duduk, berbaring, dan melakukan itu
berkali-kali. Tapi tetap saja segar, tak mau pejam barang sejenak. Lalu,
kuputuskan saja untuk mencari angin di luar, walau ada pemberontak-pemberontak
kecil dalam diriku untuk mencegah perjalanan malam. (SAMBIL LIHAT KIRI-KANAN)
ini rahasia ya? Akan aku kasih tahu rahasia diriku, aku takut gelap
(MENGATAKANNYA DENGAN BERBISIK) awas!!! Jangan kasih tahu teman-teman kamar
sebelah. Malu aku kalau mereka sampai tahu. Jadi, malam itu aku berjalan-jalan
sepanjang koridor, niatnya mau menemui si Mimin, seorang perempuan yang nyasar
ke sini, karena stres, seketika bapaknya naik pamor dan terberita di mana-mana,
di koran-koran bungkus teri, koran gorengan, Koran yang mau didaur ulang,
pokoknya segala macam koran lah, di radio juga ada, sampai gossip pagi pun ada.
Ya, maklumlah…koruptor kelas ikan padang, jadi makmum pada ritual korupsi
jama’ah.
Kulihat jam dinding, ah, masih jam 12
tepat
Tapi tak seperti biasanya, kamar Mimin kok cahayanya remang-remang, biasanya
terang. Lalu aku mengendap-ngendap, mengintip dari kaca jendela. Melihat
pemandangan di dalam, dadaku sesak, mataku melotot. Ternyata ada 5 orang
berbaju putih-putih tanpa celana, sedang..sedang..sedang, aaahh, maksudku
sedang menindih dan main kuda-kudaan secara bergantian dengan si Mimin. Kulihat
Mimin tak berdaya,ternyata salah satu dari mereka adalah bapak yang kepalanya
putih mirip kucing seperti yang kuceritakan tadi.
Aku ketakutan dan lari ke kamar, kukunci
pintu, takut kejadian tindih-menindih jatuh giliran padaku. Kejadian tadi tepat
jam 12, aku paksakan untuk mengingat, agar tidak lupa bahwa kejadianya tepat
jam 12.
Aku bingung, maka kutuliskan saja : si Mimin ditindih oleh 5 orang, salah
satunya bapak berambut putih, baju mereka putih, tanpa celana putih, tepat jam
12 saat itu.
Paginya, aku berpikir keras, seperti apa
rupa bayi si Mimin, apakah kepalanya berbulu kucing, atau dia juga lahir gila
seperti Mimin, atau berbaju putih tanpa celana putih, atau semacam apa?
Hari-hari berikutnya aku hanya diam saja
tentang kejadian itu.
(SAMBIL BERCERMIN)
Seperti yang terlihat, aku sebenarnya
tidak gila. Aku bergelar sarjana dari insitut terkemuka di negeri ini. Aku
masih muda, masih percaya Tuhan, dan dulunya aku mapan lho. Yah, ternyata gelar akademik juga tidak menjamin. Percayalah!
Aku pun tahu ini rumah sakit jiwa. Hah, biarlah.
Aku cuma disangka gila oleh orang-orang
di sini dan di luar sana juga. Tapi, apakah salah jika aku membebaskan jiwa
yang terkekang oleh jasad. Aku seorang pembebas, telah kubebaskan juga otaknya
yang kotor. Kadang lidah mereka terlalu panjang, sehingga untuk menjilat es
krim dan lollipop saja susah. Aku disuruh gini,
mesti gitu,…gini-gitu,gini-gitu,gini-gitu…gundul
mbahmu. Memangnya aku ga punya
setir apa? Bapakku memang gundul, maka kuletakkan saja pisau yang telah kuasah
berkali hingga kilat di jantungnya, habis perkara.
Aku bukan pembunuh, akulah si pembebas
itu sendiri. Telah kupersiapkan waktunya untuk mati, itu merupakan jasa
terbesar yang kuperbuat Bapak! Untuk ibu juga, yang telah kau biarkan ia duduk
di tepi pantai menatap matahari terbenam berharap bebas. Kebebasan itu sendiri,
kosong melompong di dalam mata ibu, yang memantul ke langit, mengembara ke laut
lepas. Padahal laut itu sungguh bukan
laut sama sekali. Ia telah menjadi lukisan, semacam lukisan kabut dan cakrawala
itu menjadi kabut yang jauh, yang kelabu, yang melenyapkan bayang-bayang…
Betapa indah kematian dengan persiapannya
dan kegagahannya juga
(MENATAP KE JAM DINDING, BERPIKIR
SEJENAK DAN MENGHELA NAFAS PANJANG)
Ah, masih jam 12 tepat, tak lewat
sedetik pun
Kenapa aku mesti mikir, bukankah pikiran
telah lama pamit dari kepalaku ini, pikiran yang memusingkan. Sering aku lelah
dengan diriku sendiri. Baiknya aku gila beneran,
dan setiap hari aku berdoa kepada Tuhan agar betul-betul gila.
Doaku : Tuhan, jadikanlah aku gila, agar bebas dari pikiran sehat yang
menjerumuskan aku ke dalam kejahatan. Jadikanlah aku gila agar hidupku menjadi
suci murni dan jauh dari kebusukan. Kabulkanlah permintaanku ya Tuhan, agar
kiranya kau kuburkan aku dalam kegilaan abadi. Jadikanlah aku manusia gila
segila-gilanya manusia yang pernah ada. Hancurkanlah penalaranku, kacaukanlah
jiwaku, berkatilah aku dengan kegilaan yang membebaskan aku dari keserbawajaran
dunia yang muak.
Benarkah aku membunuh bapakku? Kalau
ditelisik dengan teliti, barangkali akan terbukti juga aku tidak pernah
membunuh bapakku. Lebih tepat dikatakan, bapakku telah membuat aku membunuhnya. Bapakku sengaja
membuat aku membunuhnya, supaya ia tidak susah bunuh diri. Berarti ia yang
menuntun tanganku ini agar ia cepat sampai ke alam baka. Aku hanya memenuhi
permintaanya.
Sebenarnya juga, aku masih sadar dan
tahu betul kalau aku belum terlalu gila sebenarnya. Apa bedanya pura-pura gila
dengan sebenar-benar gila? Atau yang gila dengan yang waras? Apakah perbedaan
itu penting.
Penting bila dianggap penting, penting
atas kepentingan siapa, seberapa penting bila penting, penting dipentingkan,
perpentingan, dipentingi, penting tidak penting, penting harus penting,
penting…tak penting…penting…tak penting…penting…tak penting! Pilih sendirilah.
Tidak begitu penting apakah ada itu ada
atau tidak ada.
Ada
Ketiadaan
Menjadi…
Jam 12 tepat.
Aku masih ingat, ketika aku duduk-duduk
di belakang kamar pengap ini, mengahadap ke laut. Dari jam 12 sampai jam 12.
Entah siapa, ada dua orang duduk berduaan di bangku sebelah. Karena aku
sendiri, maka kumencuri dengar percakapan mereka. Mungkin mereka adalah
pasangan tua. Bukan, mereka bukan suami-istri tua, mereka adalah duda dan
janda, duda kira-kira berumur 90, janda berumur 80 tahun. Aku juga menyangka
mereka sama seperti aku, toh buktinya
mereka ada di sini.
Pembicaraan mereka seperti ini
“Aku heran, kenapa kau belum mati juga”
Tanya si duda
“Memangnya kenapa?” Balas si janda “Tapi
sebentar lagi aku akan mati”
“Ah, mana bisa. Aku kan lebih tua dari
kau!”
“Tidak, aku harusnya duluan. Lelaki bisa
lebih bertahan daripada wanita”
“Teori macam apa itu, pokoknya aku
duluan!”
“Tapi aku suka kematian” Jawab si janda
“Aku juga”
Mereka diam sejenak
“Tapi aku tidak bisa hidup tanpamu” si
janda memulai percakapan lagi
“Harus bisa.”
“Kenapa?”
“Harus ya harus”
“Pasti aku selalu merindukanmu!”
“Terserah”
“Kau kok
gitu sih?”
“Kau jutek”
“Kau juga”
“Biru” kata si duda
“Biru” balas si janda
“Membayang, mengawasi”
“Siapa?” si janda merangkul lengan duda
dengan sangat ketakutan
“Hahahahahah… Kau lucu!”
“Ya, kau kira kematian itu lucu, hah?”
“Mati dalam kegembiraan apa salahnya,
yang penting aku mencintai kau hingga saat nanti”
“Ah, gombal. Biarlah, aku juga mencintai
kau”
“Kau wanita tua”
“Kau lelaki lapuk”
“Kau keriput”
“Kau mengkerut”
Keduanya tertawa menikmati matahari jam
12 saat itu,
Semuanya membuatku bingung .
(SAMBIL GELENG KEPALA, LALU MOVING MENDEKATI
MENAKIN SUSTER)
Pokoknya aku tak mau lagi dipasung,
sinting! Kalau tidak, aku goda kau sampai kewarasanku mampir…
Oh… hampir lupa!
Mumpung sekarang jam 12, aku akan
meninggalkan pesan buat teman-temanku : enak jadi orang gila apalagi dianggap
gila, daripada waras tapi ketahuan gila.
Gedebag..gedebug..gedebag..gedebug!!!
Tralala..trilili..tralala..trilili..
(LAMPU PERLAHAN-LAHAN REDUP, DAN MATI)
PEMENTASAN
USAI
Padang-M.Bungo, …Juni-Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar